Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”, memberikan gambaran yang setidaknya menggambarkan kondisi di masyarakat Indonesia. Dari hal kedudukan seseorang di depan hukum, yang menggambarkan adanya jurang pemisah kalau di film ini, dibedakan antara pencopet dan koruptor.
Pada hakekatnya keduanya sama, yakni sama-sama pencuri, namun ada hal yang membedakannya koruptor berpendidikan sedangkan pencopet tidak. Dalam film ini juga digambarkan mengenai krisis ekonomi, sehingga ada sarjana yang menganggur. Ada juga kondisi masyarakat yang menginginkan enaknya saja tak ingin berjuang keras.
Pada hakekatnya keduanya sama, yakni sama-sama pencuri, namun ada hal yang membedakannya koruptor berpendidikan sedangkan pencopet tidak. Dalam film ini juga digambarkan mengenai krisis ekonomi, sehingga ada sarjana yang menganggur. Ada juga kondisi masyarakat yang menginginkan enaknya saja tak ingin berjuang keras.
Itu adalah beberapa gambaran dari film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Namun yang ingin saya fokuskan adalah pada kegigihan seorang pemuda lulusan sarjana managemen(Muluk) yang masih mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, ingin mengingatkan serta merubah sekumpulan anak-anak yang berprofesi sebagai pencopet agar mencari nafkah dengan cara yang halal.
Betapa banyak kesenjangan sosial di lingkungan kita. Ada yang bilang yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Memang benar karena yang kaya tak peduli dengan yang miskin, yang kaya semakin gigih memperkaya kekayaannya, sedang yang miskin hanya menjadi alat atau kasarnya budak atau kuli. Kesenjangan sosial yang sering kita lihat di media adalah ketika seorang pejabat yang kaya serta terhormat melakukan korupsi, maka proses dalam hukum pun akan ribet dan akhirnya akan menguntungkan si pejabat tersebut. Tetapi jika orang dari kalangan bawah yang tak mengerti mengenai hukum karena memang tak berpendidikan melalukan pelanggar hukum yang kecil, misalnya mencuri ayam maka tanpa basa-basi si pelaku dikenai sanksi. Saya masih teringat berita mengenai seorang pembantu rumah tangga yang harus mendekam di penjara lantaran dituduh mengambil makanan milik majikannya. Tak salah jika dikatakan “Ada uang semua beres”.
Kembali ke kasus koruptor. Fenomena korupsisepertinya sudah menjadi bagian dari kita. Jangan jauh-jauh ke kasus korupsi yang mengakibatkan para pejabat, coba kita tengok saja ke perangkat-perangkat desa, apakah masih ada korupsi. Memang namanya tak langsung menyebutkan korupsi tapi dengan nama lain, seperti uang pelicin, sogokan dan lain-lain. Seperti dalam proses pembuatan KTP, masih saja ada pungutan biaya padahal gratis. Ada juga pembuatan SIM, jika ingin cepat selesai maka dapat menggunakan uang pelicin. Anehnya kita tak menyadarinya, kita hanya fokus dengan kasus korupsi pejabat yang dalam jumlah. Korupsi tidak hanya sebatas penyelewengan uang, tapi juga menyontek, dan kegiatan curang lain. Salah satunya yang terjadi di lingkungan mahasiswa adalah TA(Titip Absen), budaya kecil inilah yang akan menjadi bibit korupsi karena semakin kita melakukan kecurangan maka kita akan semakin berani melakukan kecurangan yang lebih besar. Cara preventif yang dapat dilakukan adalah dengan membiasakan sikap jujur dalam segala hal dalam segala waktu dan tempat, hal tersebut harus kita mulai dari diri kita sendiri jangan menuntut orang lain yang melakukan lebih dulu, kita jangan hanya menghujat pejabat yang melakukan korupsi, tapi lihatlah diri kita sendiri apakah kita sudah tak melakukan kecurangan dan kebohongan.
ketika sebuah kejahatan kecil ditoleransi hingga tumbuh menjadi kebiasaan, saat itulah orang mulai mencari pembenaran atas kejahatan besar
BalasHapusItulah namanya kezhaliman
BalasHapus